Sendiri, namun kayakan jiwamu dengan kehadiran Allah dalam hati. (picture by Chris Bowley, flickr.com) |
“Seharusnya dia beroleh istirahat di malam hari. Siang demi
siang terasa panjang, melelahkan, dan menyesakkan dada. Ke sana ke mari dia
susuri Makkah dari hujung ke hujung yang satu, berbisik dan berseru. Dia ajak
satu orang demi satu, kabilah suku demi suku, untuk mengimani risalah yang
diamanahkan kepadanya.
Dia kadang terlihat di puncak Shafa, membacakan ayat-ayat
yang di balas caci maki dan hinaan menjijikkan dari pamannya sendiri. Dia
kadang harus pergi, meninggalkan satu kaum dengan dilempari batu dan kotoran
sambil diteriaki gila, dukun, penyihir, dan penyair ingusan. Dia kadang sujud
di depan Kaabah, lalu seseorang akan menuangkan setimba isi perut unta ke
kepalanya, atau menjeratkan seledang ke leher di saat ruku’nya. Dia kadang
harus menangis dan mengumamkan ketakberdayaan melihat sahabat-sahabatnya yang
lemah dan terbudak disiksa di depan matanya. Kejam dan keji.
Dia sangat lelah. Jiwa mahupun raga. Dia sangat payah. Lahir
mahupun batin. Tenaganya terkuras. Luar mahupun dalam. Seharusnya dia beroleh
istirahat di malam hari, meski gulana tetap menghantuinya. Tetapi saat Khadijah
membentangkan selimut untuknya dan dia mulai terlelap dalam hangat, sebuah
panggilan langit justru memaksanya terjaga.
“Hai orang yang
berselimut! Bangunlah di malam hari kecuali sedikit.
Separuhnya, atau
kurangilah yang separuh itu sedikit. Atau tambahlah atasnya, dan bacalah
Al-Quran dengan tartil”
(Surah Al-Muzammil, 73:1-4)
Untuk apa?
“Sesungguhnya Kami
akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”
(Surah Al-Muzammil, 73:5)
Seberat apa?
“Kalau sekiranya Kami
menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu akan melihatnya tunduk
terpecah berantakan
disebabkan takut kepada Allah”
(Surah Al-Hasyr, 59:21)
Itu kalimat yang berat. Itu beban yang berat. Beban yang gunung-gunung
tak sanggup menanggung. Beban yang dihindari oleh langit dan bumi. Dan Muhammad
harus menerimanya. Dia harus menanggungnya. Maka hatinya harus lebih kokoh dari
gunung. Maka jiwanya harus lebih perkasa daripada bumi. Maka dadanya harus
lebih lapang daripada lautan. Karena itu dia harus bangun di waktu malam untuk
menghubungkan diri dengan sumber kekuatan yang Maha Perkasa.
Maka Sang Nabi pun bangkit. Dia shalat.”
Buku berkulit hitam itu ditutup seketika. Matanya dipejam
erat, menjatuhkan genangan air yang dari
tadi hadir di kolam mata. Sirah Rasul yang tercinta sekali lagi meruntun
jiwanya. Baginda Nabi yang maksum lagi mulia, turut berusaha untuk membina
kekuatan ruhnya pada Allah yang Esa untuk berdepan dengan segala kesulitan yang
diberi oleh kaumnya. Baginda Nabi itu, sangat yakin bahawa setiap pertolongan daripada
Allah itu perlu ada pembersihan jiwa yang bermula dari dalam dirinya sendiri.
Maka baginda bangkit, mengetuk pintu langit melalui
tahajudnya. Menyeru Dzat kuasa melalui rintihan suaranya.
“Maka begitulah
seharusnya kita.”
Kata-kata murabbinya terngiang kembali di telinga.
Perkongsian di awal pagi beberapa tahun yang lalu itu cukup menyentuh hatinya.
Sering kali saat dia mengambil keputusan untuk lari daripada masalah yang
sedang menyesak dada, murabbi ini pasti hadir bersama topik diskusi yang bertepatan
dengan kesulitannya.
“Akhlak Rasulullah SAW yang sabar dan bersungguh dalam
berdoa tatkala menghadapi cabaran-cabaran yang sedang dilaluinya ini,
bertepatan dengan saranan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 45 dan 46,
"Dan mohonlah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat.
Dan solat itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
(Iaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka
akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya."
Rasulullah SAW dan para sahabat merupakan golongan yang
pertama-tama sekali beriman kepada Allah SWT. Mereka yakin bahawa there is no
God worthy of worship except Allah, and Prophet Muhammad SAW is His Messenger.
Keyakinan ini mereka bawa ke mana-mana mereka pergi. Keyakinan ini mereka bawa
saat berdepan dengan kafir Quraisy. Dan dengan keyakinan ini jugalah, mereka
istiqamah dengan solat dan terus bertahan dengan rasa sabar.”
Subhanallah.
Awal pagi pada hari yang baru, dia bangkit dan memulakan
harinya dengan sujud kepada Allah yang telah menghidupkannya kembali. Dia ingin
menghayati solat malam yang menjadi sumber kekuatan baginda Rasulullah SAW sejak
mula baginda berdakwah. Dia menadah kedua tangan, meneruskan munajat kepada
Allah yang Maha Mengetahui segala isi hatinya.
‘Ya Allah, berat sungguh
amanah yang Engkau perintahkan pada baginda. Namun begitu baginda tetap
dengan usahanya. Tetap dengan iltizamnya hingga hari ini aku dapat mengenalMu
ya Allah dengan penuh rasa cinta.
Ya Allah, sesungguhnya nikmat Iman dan Islam yang ku kecapi
pada hari ini, bermula dengan kudrat susuk tubuh utusanMu yang sangat kasih
pada kami umat yang terakhir. Andai pernah baginda mengungkap lelah, pasti
Islam tidak akan tertulis dalam lipatan sejarah dan tidak dihirau oleh
masyarakat kemudiannya, yakni kami sendiri.
Ya Allah, jadikanlah kami hambaMu yang sentiasa istiqamah
dalam menunaikan ketaatan kepadaMu. Ingatkanlah kami di saat kami lalai, dan
kuatkanlah kami di saat kami lemah. Jangan Engkau biarkan nasib kami ditentukan
oleh diri kami sendiri, walau kadar sekelip mata atau yang lebih singkat
daripada itu. Sesungguhnya Engkaulah punca kekuatan kami, wahai Tuhan yang
menguasai segala sesuatu.
Selawat dan salam ke atas baginda Nabi Muhammad SAW dan
ucapan salam ke atas kaum keluarga baginda, dan segala puji kepada Engkau Tuhan
sekalian alam’.
“Katakanlah (wahai
Muhammad), sekiranya kamu mencintai Allah,
maka ikutilah aku. Nescaya Allah
akan mencintaimu dan mengampunkan segala dosa-dosamu. Dan sesungguhnya Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(Ali-Imran, 3:31)